BAB I
KURIKULUM PENDIDIKAN
A. Pandangan Tentang Kurikulum
Pengembangan sumber daya manusia tidak terlepas dari
adanya pendidikan. Pendidikan merupakan tonggak ukur kemajuan bangsa Indonesia
yang dapat kita tempuh melalui pembelajan formal maupun informal. Dalam
membangun pendidikan di masa depan perlu dirancang sistem pendidikan yang dapat menjawab
harapan dan tantangan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.
Pendidikan
di masa depan memainkan peranan
yang sangat fundamental di mana cita-cita suatu bangsa dan negara dapat diraih. Bagi masyarakat suatu
bangsa, pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang akan menentukan masa
depannya. Menghadapi
masa depan yang sudah pasti diisi dengan arus globalisasi dan keterbukaan serta
kemajuan dunia informasi dan komunikasi, pendidikan akan semakin dihadapkan terhadap
berbagai tantangan dan permasalahan yang lebih rumit dari pada masa sekarang atau
sebelumnya. Untuk itu, pembangunan di sektor pendidikan di masa depan perlu dirancang
sedini mungkin agar berbagai tantangan dan permasalahan tersebut dapat diatasi.
Dunia
pendidikan nasional perlu dirancang agar mampu melahirkan generasi atau sumber daya
manusia yang memiliki keunggulan pada era globalisasi dan keterbukaan arus
informasi dan kemajuan alat komunikasi yang luar biasa. Sistem pendidikan yang
dibangun tersebut perlu berkesinambungan dari pendidikan prasekolah, pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Salah satu dimensi yang
tidak bisa dipisahkan dari pembangunan dunia pendidikan nasional di masa depan
adalah kebijakan mengenai kurikulum.
Kurikulum
merupakan jantungnya
dunia pendidikan. Untuk itu, kurikulum di masa depan perlu dirancang dan disempurnakan untuk
meningkatkan mutu pendidikan secara nasional dan meningkatkan mutu sumber daya
manusia Indonesia. Mutu pendidikan yang tinggi diperlukan untuk menciptakan kehidupan
yang cerdas, damai, terbuka, demokratis, dan mampu bersaing sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan semua warga negara Indonesia.
B. Perkembangan Kurukulum Nasional di Indonesia
Dalam
perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah
mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994,
dan direncanakan pada tahun 2004. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi
logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan
iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai
seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan
tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional
dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945,
perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam
merealisasikannya.
1)
Kurikulum 1968 dan
sebelumnya
Awalnya
pada tahun 1947, kurikulum saat itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Pada
saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan
kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan
sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem
pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih
dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development
conformism lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang
merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.
Setelah
Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami
penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952.
Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling
menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana
pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan
sehari-hari.
Usai
tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem
kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964.
Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah
bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik
untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program
Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan,
emosional/artistik, keprigelan, dan jasmani.
Kurikulum
1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan
struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa
pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan
perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen.
Dari
segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan
pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani,
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan
keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi
kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
2)
Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 sebagai pengganti
kurikulum 1968 menggunakan pendekatan-pendekatan di antaranya sebagai berikut.
a) Berorientasi
pada tujuan
b) Menganut
pendekatan integrative dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliki arti dan
peranan yang menunjang kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif.
c) menekankan kepada
efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.
d) Menganut
pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur Pengembangan
Sistem Instruksional (PPSI). Sistem yang senantiasa mengarah kepada tercapainya
tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku
siswa.
e) Dipengaruhi
psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon
(rangsang-jawab) dan latihan (drill).
Kurikulum
1975 hingga menjelang tahun 1983 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi
kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan sidang
umum MPR 1983 yang produknya tertuang dalam GBHN 1983 menyiratakan keputusan
politik yang menghendaki perubahan kurikulum dari kurikulum 1975 ke kurikulum
1984. Karena itulah pada tahun 1984 pemerintah menetapkan pergantian kurikulum
1975 oleh kurikulum 1984.
3)
Kurikulum 1984
Secara
umum dasar perubahan kurikulum 1975 ke kurikulum 1984 diantaranya adalah
sebagai berikut:
a) Terdapat
beberapa unsur dalam GBHN 1983 yang belum tertampung ke dalam kurikulum
pendidikan dasar dan menengah.
b) Terdapat
ketidakserasian antara materi kurikulum berbagai bidang studi dengan kemampuan anak
didik.
c) Terdapat
kesenjangan antara program kurikulum dan pelaksanaannya di sekolah.
d) Terlalu
padatnya isi kurikulum yang harus diajarkan hampir di setiap jenjang.
e) pelaksanaan Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) sebagai bidang pendidikan yang berdiri sendiri
mulai dari tingkat kanak-kanak sampai sekolah menengah tingkat atas termasuk
Pendidikan Luar Sekolah.
f) Pengadaan
program studi baru (seperti di SMA) untuk memenuhi kebutuhan perkembangan
lapangan kerja.
Atas
dasar perkembangan itu maka menjelang tahun 1983 antara kebutuhan atau tuntutan
masyarakat dan ilmu pengetahuan/teknologi terhadap pendidikan dalam kurikulum
1975 dianggap tidak sesuai lagi, oleh karena itu diperlukan perubahan
kurikulum. Kurikulum 1984 tampil sebagai perbaikan atau revisi terhadap
kurikulum 1975. Kurikulum 1984 memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a)
Berorientasi kepada
tujuan instruksional.
Didasari oleh pandangan
bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat
terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu,
sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan
adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.
b) Pendekatan
pengajarannya berpusat pada anak didik melalui cara belajar siswa aktif (CBSA).
CBSA adalah pendekatan
pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara
fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh
pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun
psikomotor.
c)
Materi pelajaran
dikemas dengan nenggunakan pendekatan spiral.
Spiral adalah
pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan
keluasan materi pelajaran. Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin
dalam dan luas materi pelajaran yang diberikan.
d)
Menanamkan pengertian
terlebih dahulu sebelum diberikan latihan.
Konsep-konsep yang
dipelajari siswa harus didasarkan kepada pengertian, baru kemudian diberikan
latihan setelah mengerti. Untuk menunjang pengertian alat peraga sebagai media
digunakan untuk membantu siswa memahami konsep yang dipelajarinya.
e)
Materi disajikan
berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa.
Pemberian materi
pelajaran berdasarkan tingkat kematangan mental siswa dan penyajian pada
jenjang sekolah dasar harus melalui pendekatan konkret, semikonkret,
semiabstrak, dan abstrak dengan menggunakan pendekatan induktif dari
contoh-contoh ke kesimpulan. Dari yang mudah menuju ke sukar dan dari sederhana
menuju ke kompleks.
f)
Menggunakan pendekatan
keterampilan proses.
Keterampilan proses
adalah pendekatan belajat mengajar yang memberi tekanan kepada proses
pembentukkan keterampilan memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan
perolehannya. Pendekatan keterampilan proses diupayakan dilakukan secara
efektif dan efesien dalam mencapai tujuan pelajaran.
4)
Kurikulum 1994
Pada
kurikulum sebelumnya, yaitu kurikulum 1984, proses pembelajaran menekankan pada
pola pengajaran yang berorientasi pada teori belajar mengajar dengan kurang
memperhatikan muatan (isi) pelajaran. Hal ini terjadi karena berkesesuaian
suasana pendidikan di LPTK
(lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) pun lebih mengutamakan teori tentang
proses belajar mengajar. Akibatnya, pada saat itu dibentuklah Tim Basic Science
yang salah satu tugasnya ikut mengembangkan kurikulum di sekolah. Tim ini
memandang bahwa materi (isi) pelajaran harus diberikan cukup banyak kepada
siswa, sehingga siswa selesai mengikuti pelajaran pada periode tertentu akan
mendapatkan materi pelajaran yang cukup banyak.
Kurikulum
1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan
Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini
berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari
sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang
pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi
kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak.
Terdapat
ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai
berikut:
a) Pembagian
tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem caturwulan
b) Pembelajaran
di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi
kepada materi pelajaran/isi)
c) Kurikulum
1994 bersifat populis
Memberlakukan satu sistem kurikulum untuk
semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti
sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan
dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.
Selama
dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai
akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented),
di antaranya sebagai berikut:
a) Beban
belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya
materi/substansi setiap mata pelajaran
b) Materi
pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat
perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan
aplikasi kehidupan sehari-hari.
Permasalahan
di atas terasa saat berlangsungnya pelaksanaan kurikulum 1994. Hal ini
mendorong para pembuat kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah
satu upaya penyempurnaan itu diberlakukannya Suplemen Kurikulum 1994.
Penyempurnaan tersebut dilakukan dengan tetap mempertimbangkan prinsip
penyempurnaan kurikulum, yaitu:
a) Penyempurnaan
kurikulum secara terus menerus sebagai upaya menyesuaikan kurikulum dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan kebutuhan
masyarakat.
b) Penyempurnaan kurikulum dilakukan untuk
mendapatkan proporsi yang tepat antara tujuan yang ingin dicapai dengan beban
belajar, potensi siswa, dan keadaan lingkungan serta sarana pendukungnya.
c) Penyempurnaan
kurikulum dilakukan untuk memperoleh kebenaran substansi materi pelajaran dan
kesesuaian dengan tingkat perkembangan siswa.
d) Penyempurnaan
kurikulum mempertimbangkan berbagai aspek terkait, seperti tujuan materi,
pembelajaran, evaluasi, dan sarana/prasarana termasuk buku pelajaran.
e) Penyempurnaan
kurikulum tidak mempersulit guru dalam mengimplementasikannya dan tetap dapat
menggunakan buku pelajaran dan sarana prasarana pendidikan lainnya yang
tersedia di sekolah.
f) Penyempurnaan
kurikulum 1994 di pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan bertahap, yaitu
tahap penyempurnaan jangka pendek dan penyempurnaan jangka panjang.
5)
Kurikulum Berbasis
Kompetensi – Versi Tahun 2002 dan 2004
Kurikukum
yang dikembangkan saat ini diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan
untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar
performance yang telah ditetapkan. Competency Based Education is education
geared toward preparing indivisuals to perform identified competencies (Scharg
dalam Hamalik, 2000: 89). Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada
upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah
ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu kurikulum berbasis
kompetensi sebagai pedoman pembelajaran.
Rumusan
kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan pernyataan apa yang
diharapkan dapat diketahui, disikapi, atau dilakukan siswa dalam setiap
tingkatan kelas dan sekolah dan sekaligus menggambarkan kemajuan siswa yang
dicapai secara bertahap dan berkelanjutan untuk menjadi kompeten.
Suatu
program pendidikan berbasis kompetensi harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu:
a)
pemilihan kompetensi
yang sesuai
b)
spesifikasi
indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi
c)
pengembangan sistem
pembelajaran.
Kurikulum
Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a)
Menekankan pada
ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
b)
Berorientasi pada hasil
belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
c)
Penyampaian dalam
pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
d) Sumber
belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur
edukatif.
e)
Penilaian menekankan
pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu
kompetensi.
Struktur
kompetensi dasar Kurikulum Berbasis Kompetensi ini dirinci dalam komponen
aspek, kelas dan semester. Keterampilan dan pengetahuan dalam setiap mata
pelajaran, disusun dan dibagi menurut aspek dari mata pelajaran tersebut.
6) Kurikulum
Berbasis Kompetensi – Versi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
Implementasi
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan
ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan
arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional
pendidikan, yaitu: (1)standar isi, (2)standar proses, (3)standar kompetensi
lulusan, (4)standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5)standar sarana dan
prasarana, (6)standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan (7)standar penilaian
pendidikan.
Kurikulum
dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu, maka dengan
terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah telah menggiring
pelaku pendidikan untuk mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk kurikulum
tingkat satuan pendidikan, yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan
dilaksanakan di setiap satuan pendidikan.
Secara
substansial, pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lebih
kepada mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan
tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan
tercapainya paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah
subject matter), yaitu:
a)
Menekankan pada
ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
b)
Berorientasi pada hasil
belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
c)
Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan
pendekatan dan metode yang bervariasi.
d) Sumber
belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi
unsur edukatif.
e)
Penilaian menekankan
pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu
kompetensi.
Terdapat
perbedaan mendasar dibandingkan dengan kurikulum berbasis kompetensi sebelumnya
(versi 2002 dan 2004), bahwa sekolah diberi kewenangan penuh menyusun rencana
pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar yang telah ditetapkan, mulai
dari tujuan, visi – misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar,
kalender pendidikan, hingga pengembangan silabusnya.
BAB
II
KURIKULUM
MATEMATIKA SEKOLAH
A. Perkembangan Kurikulum Matematika di Sekolah
Menatap masa depan, matematika harus dipelajari siswa-siswa
kita karena kegunaannya yang penting dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Penerapan matematika akhir-akhir ini telah berubah banyak dan cepat karena
kehadiran dan perkembangan teknologi elektronik dalam dunia kerja. Pembelajaran
matematika di tingkat satuan pendidikan harus dapat menyesuaikan diri dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung. Kurikulum
mata pelajaran matematika harus dirancang tidak hanya untuk siswa melanjutkan
ke pendidikan tinggi tetapi juga untuk memasuki dunia pasar kerja. Depdiknas
(2007:1)
Upaya pemerintah, untuk memajukan pendidikan
terlihat melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Undang-undang ini mengamanatkan pembaharuan yang besar dalam system
pendidikan kita. Sebagai kelanjutan dari Undang-undang tersebut, untuk pertama
kalinya dalam pendidikan kita diharuskan ada standard nasional untuk isi atau
disingkat Standar Isi (SI) melalui Permen No. 22 Tahun 2006. Karena standard
ini bersifat Nasional maka haruslah setelah beberapa waktu SI tersebut dipenuhi
oleh semua system pendidikan di Nusantara. Mengacu kepada SI ini juga standard
yang lain seperti standard kompetensi guru dan standard buku/bahan ajar
matematika dapat disusun rambu-rambu untuk menyusun kurikulum matematika.
Suryadi (2005:2) mengatakan Berdasarkan literatur yang
ada, ciri-ciri pembelajaran matematika pada kurikulum 1968 antara lain adalah
sebagai berikut:
a.
Dalam pengajaran geometri, penekanan lebih diberikan pada keterampilan
berhitung, misalnya menghitung luas bangun geometri datar atau volume bangun
geometri ruang, bukan pada pengertian bagaimana rumus-rumus untuk melakukan
perhitungan tersebut diperoleh (Ruseffendi, 1985, h.33).
b.
Lebih mengutamakan hafalan yang sifatnya mekanis daripada pengertian (Ruseffendi,
1979, h.2).
c.
Program berhitung kurang memperhatikan aspek kontinuitas dengan materi
pada jenjang berikutnya, serta kurang terkait dengan dunia luar (Ruseffendi,
1979, h.4).
d.
Penyajian materi kurang memberikan peluang untuk tumbuhnya motivasi
serta rasa ingin tahu anak (Ruseffendi, 1979, h.5).
Menurut Ruseffendi (dalam Suryadi:3), matematika moderen tersebut
memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.
Terdapat
topik-topik baru yang diperkenalkan yaitu himpunan, geometri bidang dan ruang,
statistika dan probabilitas, relasi, sistem numerasi kuno, dan penulisan
lambang bilangan nondesimal. Selain itu diperkenalkan pula konsep-konsep baru
seperti penggunaan himpunan, pendekatan pengajaran matematika secara spiral,
dan pengajaran geometri dimulai dengan lengkungan.
b.
Terjadi
pergeseran dari pengajaran yang lebih menekankan pada hafalan ke pengajaran
yang mengutamakan pengertian.
c.
Soal-soal yang
diberikan lebih diutamakan yang bersifat pemecahan masalah daripada yang
bersifat rutin.
d.
Ada
kesinambungan dalam penyajian bahan ajar antara Sekolah Dasar dan Sekolah
Lanjutan.
e.
Terdapat
penekanan kepada struktur.
f.
Program
pengajaran pada matematika moderen lebih memperhatikan adanya keberagaman antar
siswa.
g.
Terdapat
upaya-upaya penggunaan istilah yang lebih tepat.
h.
Ada pergeseran
dari pengajaran yang berpusat pada guru ke pengajaran yang lebih berpusat pada
siswa.
i.
Sebagai akibat
dari pengajaran yang lebih berpusat pada siswa, maka metode mengajar yang lebih
banyak digunakan adalah penemuan dan pemecahan masalah dengan teknik diskusi.
j.
Terdapat upaya
agar pengajaran matematika dilakukan dengan cara yang menarik, misalnya melalui
permainan, teka-teki, atau kegiatan lapangan.
Berdasarkan ciri-ciri pengajaran matematika moderen di atas, maka teori
belajar yang dipergunakan lebih bersifat campuran. Hal ini sesuai dengan
pendapat Ruseffendi (dalam Suryadi:3) yang menyatakan bahwa teori
belajar-mengajar yang dipergunakan pada saat itu adalah campuran antara teori
pengaitan dari Thorndike, aliran psikologi perkembangan seperti teori Piaget,
serta aliran tingkah laku dari Skinner dan Gagne.
Namun demikian, Ruseffendi selanjutnya menambahkan bahwa teori yang
lebih dominan digunakan adalah aliran psikologi perkembangan seperti dari
Piaget dan Bruner sebab yang menjadi sentral pengajaran matematika adalah
pemecahan masalah.
Jika dilihat dari ciri-cirinya
yang tidak jauh berbeda dengan kurikulum sebelumnya, maka teori belajar yang
digunakan pada pengajaran matematika kurikulum 1984 ini juga lebih bersifat
campuran antara teori pengaitan, aliran psikologi perkembangan, dan aliran
tingkah laku.
Perubahan kurikulum kembali terjadi pada tahun 1994 dimana dimulai dari
tingkat SD hingga tingkat SMU. Pada bidang matematika, terdapat beberapa
perubahan baik dari sisi materi maupun pengajarannya. Yang menjadi bahan kajian
inti untuk matematika sekolah dasar adalah: aritmetika (berhitung), pengantar
aljabar, geometri, pengukuran, dan kajian data (pengantar statistika). Pada
kurikulum matematika SD ini, terdapat penekanan khusus pada penguasaan bilangan
(number sense) termasuk di dalamnya berhitung. Untuk SLTP, bahan kajian intinya
mencakup: aritmetika, aljabar, geometri, peluang, dan statistika. Dalam
kurikulum ini terdapat upaya untuk menanamkan pemikiran deduktif yang ketat
melalui struktur deduktif terbatas pada sebagian bahan geometri. Materi
matematika untuk SMU terdapat sedikit perubahan yakni dimasukannya pengenalan
teori graf yang merupakan bagian dari matematika diskrit.
Penekanan
khusus yang diberikan pada penguasaan bilangan, termasuk di dalamnya berhitung.
Merupakan perubahan yang sangat mendasar yang terjadi di sekolah dasar yang
merupakan ciri-ciri kurikulum matematika sekolah tahun 1994. Implikasi dari
perubahan ini, adalah digunakannya kembali secara dominan teori belajar dari
dari Skinner. Sementara itu, pengajaran matematika untuk tingkat SLTP dan SMU
nampaknya tidak jauh berbeda dengan yang terjadi sebelumnya. Dengan demikian
untuk tingkat SLTP dan SMU teori belajar yang digunakan dalam proses
belajar-mengajar masih bersifat campuran dengan dominasi ada pada penerapan aliran
psikologi perkembangan.
Sebagai langkah penyempurnaan pada Kurikulum 1994, terjadi sejumlah
reduksi serta restrukturisasi materi bahan ajar sehingga muncul Kurikulum 1994.
Sebagai contoh, beberapa bagian dari pokok bahasan himpunan di SLTP
dihilangkan, dan pengantar teori graf di SMU juga dihilangkan. Selain itu,
terdapat juga perubahan-perubahan kecil dan penyusunan kembali urutan penyajian
untuk pokok-pokok bahasan tertentu. Selain dari hal tersebut, sebagian besar
dari materi kurikulum 1999 hampir sama dengan kurikulum 1994. Dengan demikian,
teori belajar yang digunakan pada kurikulum 1999 ini masih sama dengan yang
digunakan pada implementasi kurikulum sebelumnya.
Pada tahun 2002, Pusat Kurikulum mengeluarkan dokumen kurikulum baru
yang disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi. Beberapa ciri penting dari
kurikulum tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a.
Karena kurikulum
ini dikembangkan berdasarkan kompetensi tertentu, maka kurikulum 2002 diberi
nama Kurikulum Berbasis Kompetensi.
b.
Berpusat pada
anak sebagai pengembang pengetahuan.
c.
Terdapat
penekanan pada pengembangan kemampuan pemecahan masalah; kemampuan berpikir
logis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan mengkomunikasikan gagasan secara
matematik.
d.
Cakupan materi
untuk sekolah dasar meliputi: bilangan, geometri dan pengukuran, pengolahan
data, pemecahan masalah, serta penalaran dan komunikasi.
e.
Cakupan materi
untuk SLTP meliputi: bilangan, aljabar, geometri dan pengukuran, peluang dan
statistika, pemecahan masalah, serta penalaran dan komunikasi.
f.
Cakupan materi
untuk SMU meliputi: aljabar, geometri dan pengukuran, trigonometri, peluang dan
statistika, kalkulus, logika matematika, pemecahan masalah, serta penalaran dan
komunikasi.
Kurikulum berbasis kompetensi ini secara garis besarnya mencakup tiga komponen
yaitu kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator pencapaian hasil belajar.
Jika dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya, kurikulum berbasis kompetensi
ini memuat perubahan yang cukup mendasar terutama dalam hal penerapan pandangan
bahwa dalam proses belajar, anak dianggap sebagai pengembang pengetahuan.
Selain itu, adanya penekanan pada pengembangan kemampuan pemecahan masalah;
berfikir logis, kritis, dan kreatif; serta mengkomunikasikan gagasan secara
matematik, maka teori belajar yang dominan digunakan kemungkinannya adalah
aliran psikologi perkembangan serta konstruktivisme. Dalam penerapannya, guru
antara lain harus mampu menciptakan suatu kondisi sehingga proses asimilasi dan
akomodasi seperti yang dikemukakan Piaget dapat berjalan secara efektif. Selain
itu, guru juga harus memperhatikan adanya keberagaman kemampuan di antara siswa
sehingga dengan kondisi tertentu yang diciptakan guru, maka potensi
masing-masing siswa dapat berkembang secara optimal.
B. Kecenderungan Pembelajaran Matematika
Perhatian
pemerintah dan pakar pendidikan matematika diberbagai Negara untuk meningkatkan
kemampuan matematika siswa tidak hanya tertuju kepada kurikulum di sekolah
sekarang ini, sekarang ini tengah digalangkan penggunaan pembelajaran
matematika secara kontekstual dan humanistik seperti yang telah dikembangkan di
negara-negara maju. Depdiknas (2007:3)
Belanda
sekarang merupakan salah satu Negara yang telah mengembangkan pendekatan
pembelajaran dengan nama Realistic Mathematics Education (RME). Terdapat
lima karakteristik utama dari pendekatan RME, yaitu: (1) menggunakan pengalaman
siswa di dalam kehidupan sehari-hari, (2) mengubah realita ke dalam model,
kemudian mengubah model melalui matematisasi vertikal sebelum sampai kepada
bentuk formal, (3) menggunakan keaktifan siswa, (4) dalam mewujudkan matematika
pada diri siswa diperlukan adanya diskusi, tanya-jawab, dan (5) adanya
keterjalinan konsep dengan konsep, topik dengan topik sehingga pembelajaran matematika
lebih holistik daripada parsial (Ruseffendi, 2003). Dengan pendekatan ini
diduga peningkatan hasil belajar dan aktivitas siswa dapat dilakukan dengan
menyajikan materi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Menurut Howey (2001: 105), di
Amerika Serikat juga tengah dikembangkan suatu pendekatan pembelajaran yang
disebut contextual teaching and learning. Pendekatan ini dapat
meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa dalam menyelesaikan tugas
matematika melalui pembelajaran yang dimulai dengan masalah-masalah
contextual. Pendekatan seperti ini diduga mampu mengantarkan siswa dalam
merespons setiap masalah dengan baik, karena dalam kehidupan sehari-hari, siswa
telah mengenal masalah tersebut.
Menurut Becker dan Shimada (1997:
2), di negara Sakura Jepang saat ini sedang dipopulerkan pendekatan yang
dikenal the open-ended approach. Dengan pendekatan ini, diduga
peningkatan hasil belajar dan aktivitas siswa dapat dilakukan dengan memberi
soal-soal terbuka yang memiliki banyak jawab benar. Soal-soal terbuka
penekanannya bukan pada perolehan jawaban akhir tetapi lebih kepada upaya
mendapatkan beragam cara memperoleh jawaban dari soal yang diberikan.
Di negara tetangga Singapura,
pendekatan pembelajaran di sekolah dikenal dengan nama concrete-victorial-abstract
approach . Peningkatan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa diduga
dapat dilakukan melalui perantaraan benda-benda konkrik dan gambar-gambar yang
menarik perhatian siswa. Leader, et al. (1995: 78), bahwa di negara Kangguru
Australia sedang dipopulerkan pembelajaran matematika melalui pemahaman konteks
yang disebut mathematics in context. Sedangkan di Indonesia sendiri di
tingkat Sekolah Dasar tengah dipopulerkan Pembelajaran Matematika Reliastik
Indonesia atau disingkat PMRI.
Pendidikan nasional antara lain
bertujun mewujudkan learning society dimana setiap anggota
masyarakat berhak mendapatkan pendidikan (education for all) dan
menjadi pembelajar seumur hidup (longlife education). Empat pilar
pendidikan dari UNESCO, yaitu learning to know, learning to do, learning to
live together, dan learning to be. Impelementasi dalam pembelajaran
matematika terlihat dalam pembelajaran dan penilaian yang sifatnya learning
to know (fakta, skills, konsep, dan prinsip), learning to do (doing
mathematics), learning to be (enjoy mathematics), dan learning
to live together (cooperative learning in mathematics).
Dengan demikian pengembangan
kurikulum matematika di tingkat satuan pendidikan haruslah relevan
kecenderungan pembelajaran matematika saat ini dan mengakomodir standar
kompetensi lulusan yang telah ditetapkan pemerintah.
BAB III
MATEMATIKA SEKOLAH
A.
Prinsip-Prinsip
Dan Standar Matematika Sekolah
Prinsip-prinsip
dan standar matematika sekolah dirancang untuk memberi petunjuk dan arahan bagi
para guru dan pihak-pihak lain yang terkait dengan pendidikan matematika dari
kelas pra-Taman Kanak-kanak (Pra-Tk) sampai kelas 12.
Struktur
Prinsip-prinsip dan standar matematika sekolah
Van (2006:2)
B.
Lima
Standar Isi
Prinsip-prinsip dan standar
dari NCTM memberikan 5 standar isi matematika, yaitu:
1. Bilangan
dan Operasinya
2. Aljabar
3. Geometri
4. Pengukuran
5. Analisis
data dan Probabilitas
Setiap standar isi
memiliki sejumlah tujuan yang berlaku untuk semua kelompok kelas. Meskipun lima
standar isi yang sama berlaku untuk semua kelas, tetapi kita kuga harus
menyimpulkan bahwa setiap isi hanya memiliki bobot atau penekanan yang sama
pada setiap kelompok kelas.
C.
Lima
Standar Proses
Prinsip-prinsip dan
standar dari NCTM memberikan 5 standar proses matematika, yaitu:
1. Pemecahan
soal
2. Pemahaman
dan bukti
3. Komunikasi
4. Hubungan
5. Penyajian
Standar proses merujuk
kepada proses matematika yang mana melalui proses tersebut siswa memperoleh dan
menggunakan pengetahuan matematika. Kelima standar proses harus tidak dipandang
sebagai sesuatu yang terpisah dari standar isi. Kelima standar proses
mengarahkan metode-metode atau proses-proses untuk mengerjakan seluruh
matematika.oleh karena itu, itu harus dilihat komponen-konponen integral dengan
pembelajaran dan pengajaran matematika.
D. Tujuan Pembelajaran Matematika Sekolah
Berdasarkan
PERMENDIKNAS No. 22 Tahun 2006, Mata pelajaran matematika bertujuan
agar peserta didik memiliki kemampuan berikut:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan
keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara
luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
Objek dalam pembelajaran
matematika adalah: fakta, konsep, prinsip, dan skills. Objek tersebut
menjadi perantara bagi siswa dalam menguasai kompetensi-kompetensi dasar (KD)
yang dimuat dalam SI mata pelajaran matematika.
Fakta adalah sebarang kemufakatan dalam matematika.
Fakta matematika meliputi istilah (nama), notasi (lambang), dan kemufakatan
(konvensi).
Contoh fakta: Kaitan kata “lima” dan simbol
“5”. Kaitan tanda “=“ dengan kata “sama dengan”. Kesepakatan pada garis
bilangan: sebelah kanan O adalah positif, sebelah kiri O adalah negatif.
Konsep adalah ide (abstrak) yang dapat digunakan atau
memungkinkan seseorang untuk mengelompokkan/menggolongkan sesuatu objek. Suatu
konsep biasa dibatasi dalam suatu ungkapan yang disebut definisi. “Segitiga”
adalah suatu konsep yang dapat digunakan untuk mengelompokkan bangun datar,
yaitu yang masuk dalam pengertian “segitiga” dan “yang tidak termasuk dalam
pengertian segitiga”. Beberapa konsep merupakan pengertian dasar yang dapat
ditangkap secara alami (tanpa didefinisikan).
Contoh konsep: konsep himpunan. Beberapa konsep lain diturunkan dari
konsep konsep yang mendahuluinya, sehingga berjenjang. Konsep yang diturunkan
tadi dikatakan berjenjang lebih tinggi daripada konsep yang mendahuluinya.
Contoh: konsep tentang relasi – fungsi – korespondensi satu-satu.
Prinsip adalah rangkaian konsep-konsep beserta
hubungannya. Umumnya prinsip berupa pernyataan. Beberapa prinsip merupakan
prinsip dasar yang dapat diterima kebenarannya secara alami tanpa pembuktian.
Prinsip dasar ini disebut aksioma atau postulat.
Contoh Prinsip: Dua
segitiga dikatakan kongruen jika dua pasang sisinya sama panjang dan sudut yang
diapit kedua sisi itu sama besar. Persegi panjang dapat menempati bingkainya
dengan empat cara.
Skill atau keterampilan dalam matematika adalah kemampuan pengerjaan
(operasi) dan prosedur yang harus dikuasai oleh siswa dengan kecepatan dan
ketepatan yang tinggi, misalnya operasi hitung, operasi himpunan. Beberapa
keterampilan ditentukan oleh seperangkat aturan atau instruksi atau prosedur
yang berurutan, yang disebut algoritma.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat,
melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti,
atau menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika.
Penalaran adalah suatu proses atau suatu aktivitas
berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau proses berpikir dalam rangka
membuat suatu pernyataan baru yang benar berdasar pada beberapa pernyataan yang
kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya.
Materi matematika dan penalaran matematika
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Materi matematika dipahami
melalui penalaran, dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi
matematika (Depdiknas dalam Fadjar Shadiq, 2005).
Contoh hasil penalaran: “Sekarang Ani berumur 15 tahun. Umur Dina 2 tahun lebih tua dari Ani.
Jadi, sekarang umur Dina 17 tahun”.
Penalaran Induktif dan Deduktif
Ada dua cara untuk menarik kesimpulan yaitu secara induktif dan
deduktif, sehingga dikenal istilah penalaran induktif dan penalaran
deduktif. Penalaran induktif adalah proses berpikir yang berusaha
menghubungkan fakta-fakta atau kejadian-kejadian khusus yang sudah diketahui
menuju kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum. Penalaran deduktif
merupakan proses berpikir untuk menarik kesimpulan tentang hal khusus yang
berpijak pada hal umum atau hal yang sebelumnya telah dibuktikan (diasumsikan)
kebenarannya.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan
memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperoleh.
Salah satu kemampuan yang diharapkan dikuasai siswa dalam belajar
matematika adalah kemampuan memecahkan
masalah atau problem solving.
Apa yang dimaksud memecahkan masalah (problem solving)?
Sebelum mempelajari maksud dari problem solving, terlebih dahulu kita
bahas tentang maksud dari problem atau masalah. Setiap penugasan dalam belajar
matematika untuk siswa dapat digolongkan menjadi dua hal yaitu exercise
atau latihan dan problem atau masalah (Lenchner, 1983). Exercise
(latihan) merupakan tugas yang langkah penyelesaiannya sudah diketahui siswa.
Pada umumnya suatu latihan dapat diselesaikan dengan menerapkan secara langsung
satu atau lebih algoritma. Problem lebih kompleks daripada latihan
karena strategi untuk menyelesaikannya tidak langsung tampak. Dalam
menyelesaikan problem siswa dituntut kreativitasnya. Perhatikan contoh-contoh
berikut.
Contoh-1: Tentukan dua bilangan yang belum diketahui pada pola
bilangan berikut ini.
1. 1, 8, 27, 64, ..., ...
2. 9, 61, 52, 63, ..., ...
Pertanyaan refleksi (setelah mengerjakan soal):
1)
Apakah dengan menerapkan suatu konsep atau algoritma pada soal 1,
penyelesaian soal dapat dengan serta merta langsung diperoleh? Jelaskan!
2)
Apakah dengan menerapkan suatu konsep atau algoritma pada soal 2,
penyelesaian soal dapat dengan serta merta langsung diperoleh?
3)
Mana yang lebih menantang, soal 1 atau soal 2?
4)
Mana yang lebih memerlukan kreativitas dalam menyelesaikannya, soal 1
atau soal 2?
Contoh-2: Suatu saat Anda menyodorkan sekumpulan mata uang logam
kepada siswa. Kumpulan uang logam terdiri dari: 3 keping uang dua ratusan, 2
keping uang lima ratusan dan 1 keping uang ribuan. Berikan pertanyaan berikut
ini kepada siswa.
a)
Ada berapa macam keping mata uang pada kumpulan uang logam itu?
b)
Ada berapa buah keping uang pada kumpulan uang logam itu?
c)
Berapa total nilai uang pada kumpulan uang logam itu?
d)
Kelompok keping uang manakah yang nilainya paling besar? Manakah yang
nilainya paling kecil?
e)
Berapa macam nilai uang berbeda yang dapat ditentukan dari keeping
uang atau keping-keping uang yang semacam?
f)
Berapa macam nilai uang berbeda yang dapat ditentukan dari
kepingkeping uang yang terdiri dari dua macam?
g)
Berapa macam nilai uang berbeda yang dapat ditentukan dari
kepingkeping uang yang terdiri dari tiga macam?
h)
Ada berapa macam nilai uang sama yang kombinasi kepingnya berbeda?.
Tunjukkan nilai dan kombinasinya.
Perhatikan dua hal berikut ini; (1) Suatu pertanyaan
atau tugas akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan atau tugas itu
menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu
prosedur rutin yang sudah diketahui oleh penjawab pertanyaan dan (2) Suatu
masalah bagi seseorang dapat menjadi bukan masalah bagi orang lain karena ia
sudah mengetahui prosedur untuk menyelesaikannya.
Perhatikan dua soal pada contoh-1 di atas. Bila ditinjau dari materi
soal maka untuk menyelesaikan soal nomor 1 cara-caranya pastilah sudah
diketahui oleh semua siswa karena telah dipelajari, yaitu saat membahas tentang
bilangan berpangkat tiga. Untuk menyelesaikan soal nomor 2 siswa umumnya belum
tahu caranya secara langsung (kecuali bila guru telah memberikannya sebagai
contoh). Oleh karena itu soal nomor 1 tidak dapat digolongkan sebagai masalah,
sedang soal nomor 2 dapat digolongkan sebagai masalah.
Pemecahan masalah adalah proses menerapkan pengetahuan yang
telah diperoleh sebelumnya ke dalam situasi baru yang belum dikenal. Dengan
demikian ciri dari pertanyaan
atau penugasan berbentuk pemecahan masalah adalah: (1) ada tantangan dalam
materi tugas atau soal, (2) masalah tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan
prosedur rutin yang sudah diketahui penjawab.
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel,
diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah
Gagasan dan pikiran seseorang dalam menyelesaikan permasalahan
matematika dapat dinyatakan dalam kata-kata, lambang matematis, bilangan,
gambar, maupun tabel. Cockroft (1986) dalam Fadjar Shadiq (2003) menyatakan
bahwa matematika merupakan alat komunikasi yang sangat kuat, teliti, dan tidak
membingungkan. Komunikasi ide-ide, gagasan pada operasi atau pembuktian
matematika banyak melibatkan kata-kata, lambang matematis, dan bilangan.
Contoh ilustrasi bahwa siswa mampu melakukan komunikasi secara
matematis sebagai berikut:
Misalkan siswa
mendapat tugas dari guru sebagai berikut: “Gambarlah sebarang segitiga lancip,
siku-siku, dan tumpul. Dengan busur derajat, ukurlah besar tiap sudut pada tiap
segitiga. Jumlahkan sudut-sudut hasil pengukuran pada tiap segitiga. Apa yang
dapat kamu simpulkan?”.
Siswa dikatakan mampu
melakukan komunikasi matematis dengan baik pada tugas tersebut bila ia
mampu memperjelas tugas dan penyelesaiannya dengan memanfaatkan pengetahuannya
tentang jenis segitiga dan tabel.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika
dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan
masalah.
Pencapaian tujuan kelima ini lebih banyak ditentukan oleh bagaimana
cara guru mengelola pembelajaran daripada bagaimana siswa belajar. Mengapa
demikian? Siswa akan memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam
kehidupan sehingga muncul rasa ingin tahu, perhatian, dan berminat dalam
mempelajari matematika bila guru dapat menghadirkan suasana PAKEM (pembelajaran yang aktif, kreatif,
efektif dan menyenangkan). Pembelajaran
matematika PAKEM dalam hal ini adalah pembelajaran matematika yang mampu
memancing, mengajak, dan membuat siswa untuk: aktif berpikir (mentalnya),
kreatif (dalam berpikir), senang belajar dalam arti nyaman kondisi mentalnya
karena tiadanya ancaman atau tekanan dalam belajar baik dari guru maupun dari
teman-temannya, serta kompetensi yang dipelajari terkuasai.
Selain menghadirkan suasana PAKEM, tujuan kelima ini juga menuntut guru untuk menghadirkan
pembelajaran yang kontekstual dalam arti berkait dengan kehidupan sehari-hari
siswa. Hal itu dimaksudkan agar siswa memahami makna dan kaitan kompetensi
matematika yang dipelajarinya dengan kehidupannya sehari-hari. Dari situ
diharapkan muncul sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan.
Siswa akan memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam
kehidupan sehingga muncul sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah
bila ia tidak terhambat kemampuannya dalam belajar matematika. Perlu diingat
bahwa unsur utama pekerjaan matematika
adalah penalaran deduktif yang bekerja atas dasar asumsi, yaitu kebenaran suatu
konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya
(Depdiknas dalam Fadjar Shadiq, 2005). Hal itu mengakibatkan bahwa
kompetensi-kompetensi matematika yang dipelajari saling terkait dan tersusun
secara hierarkis. Dalam kaitan hal itu kita paham bahwa siswa tidak akan
kompeten dalam menyelesaikan persamaan linear satu variabel bila ia tidak
kompeten dalam mengoperasikan bentuk-bentuk aljabar. Kita juga paham bahwa agar
siswa atau diri kita mampu memecahkan masalah, maka perlu paham dengan baik
konsep-konsep matematika dan mampu melakukan penalaran.
Mengingat hal itu maka kemampuan siswa cenderung tidak terhambat bila
ia senantiasa tidak bermasalah dalam memenuhi kemampuan modal atau kemampuan
prasyarat yaitu kemampuan yang telah dipelajari sebelumnya dan kemampuan itu
diperlukan untuk mempelajari kompetensi yang akan/sedang dipelajari. Oleh
karena itu hendaknya guru dan sekolah senantiasa berusaha agar dapat mendeteksi
kelemahan-kelemahan siswa dalam belajar matematika secara dini kemudian
bahu-membahu mengatasinya sehingga tidak berlarut-larut. Terhambat belajar
matematika yang berlarut-larut akan menggagalkan tercapainya tujuan kelima ini,
bukan saja siswa tak akan menjadi ulet dan percaya diri dalam pemecahan
masalah, namun juga dapat mengakibatkan hilangnya minat mempelajari matematika.
BAB IV
PROBLEMATIKA DAN KASUS PENGAJARAN MATEMATIKA
DI SEKOLAH
A. Pengajaran Matematika Pada Materi Sistem Persamaan Linear
Persamaan
linear adalah
sebuah persamaan aljabar, yang tiap sukunya mengandung konstanta, atau
perkalian konstanta dengan variabel tunggal. Persamaan ini dikatakan linear
sebab hubungan matematis ini dapat digambarkan sebagai garis lurus dalam Sistem
koordinat Kartesius. Bentuk lain, bahwa penyelesaian suatu sistem
persamaan linier adalah suatu himpunan nilai yang memenuhi secara serentak
(simultan) semua persamaan-persamaan dari sistem tersebut. Atau secara
sederhana penyelesaian sistem persamaan linier adalah menentukan titik potong
dari dua persamaan linier.
Materi Sistem Persaman Linear Dua Variabel
(SPLDV) bermanfaat dalam matematika maupun dalam kehidupan sehari-hari,
diantaranya adalah untuk menentukan koordinat titik potong dua garis,
menentukan persamaan garis, menentukan konstanta-konstanta pada suatu kesamaan,
menyelesaikan masalah aritmetika social, menyelesaikan masalah investasi dan
bisnis, dan masalah dalam bidang fisika diantaranya mengenai kecepatan, serta
masih banyak manfaat dalam bidang lainnya.
Materi SPLDV terdapat dalam materi kurikulum
KTSP 2006 yang diberikan pada siswa SMP Kelas VIII Semester 1 (Genap), terdapat
pada Standar Kompetensi aspek Aljabar bagian ke-2, yang isinya: Memahami sistem
persamaan linear dua variabel (SPLDV) dan menggunakannya dalam pemecahan
masalah. Sedangkan isi kompetensi dasarnya adalah; (1) menyelesaikan sistem
persamaan linear dua variabel, (2) membuat model matematika dari masalah yang
berkaitan dengan sistem persamaan linear dua variabel, (3) menyelesaikan model
matematika dari masalah yang berkaitan dengan sistem persamaan linear dua
variabel dan penafsirannya. Selain itu, materi ini merupakan salah satu materi
yang ada dalam SKL pada UN di setiap tahunnya.
Pada pembelajaran tentang sistem persaman
linear baik satu varibel mapun dua variabel banyak membutuhkan berbagai macam
cara untuk dapat digunakan dalam penyelesaian sebauh soal dalam sistem
persamaan linear, misalnya persamaan linear dua variabel dengan menggunakan
metode Grafik, subtitusi dan eliminasi. Dengan tiga metode yang digunakan ini
siswa harus memiliki pemahaman konsep dasar untuk dapat menyelesaikan dengan
menggunakan tiga metode ini, minimal pengusaan tentang konsep dasar aljabar,
karena materi sistem persaman linear sangat berkaitan dengan konsep-konsep
aljabar.
Siswa dituntut untuk dapat menguasai konsep
dasar dalam pembelajaran sistem persamaan linera, baik sistem persamaan linear
satu variable (SPLSV) maupun system persamaan linera dua variable (SPLDV).
Pembelajaran matematika sangatlah berkaitan erat antara satu konsep dengan
konsep yang lain, maka dengan itu siswa dituntut untuk dapat memahami
konsep-konsep tersebut. Memang banyak problem atau masalah yang terjadi dalam
pembalajaran kita disekolah-sekolah baik masa lalu dan saat ini, baik pada
tingkat sekolah dasar maupun menengah, yang mengakibatkan siswa banyak
mengalami kesulitan dalam memahami matematika ketika menuju suatu jenjang pendidikan
ke jenjang pendidikan berikutnya, ini berakibat karena guru kita tidak begitu
menanamkan konsep dasar dalam setiap pembelajaran matematika di kelas, pada hal
konsep dasar merupakan pengatahun awal yang sangat penting dalam setiap
kegiatan proses belajar mangajar matematika di sekolah. Misalnya dalam
pembelajaran sistem persamaan linear satu variable dan dua variable, misalnya
kita banyak jumpai buku-buku paket di sekolah-sekolah hanya menuliskan bentuk
umum dari sebuah SPLDV seperti:
ax + by + c = 0
px + qy + r = 0
misalnya pada saat guru menuliskan persamaan
umum ini tiba-tiba muncul pertanyaan dari siswa, mengapa secara umum sistem
persamaan liner dua variable (SPLDV) ax +
by + c = 0 dan px + qy + r = 0 di tulis dalam bentuk sperti ini, apakah
ini sebuah kesepakatan atau ini membutuhkan sebuah langka-langkah tertentu
untuk mendapatkan nilai 0?. Saya kira mungin sebagain besar tenaga pengajar
kita pasti belum bisa menjawab atau menyampikan alasan yang tepat atau rasional
tentang pertanyaan yang disampaikan oleh siswa tersebut atau guru kadang-kadang
menjawab bahwa bentuk umum dari SPLDV dari dulu suda seperti itu, pada hal guru harus menjelaskan kenapa bentuk umu
SPLDV seperti itu.
Mungkin dalam ranah berfikir kita pertanyaan
diatas tidak masuk akal atau pertanyaan yang konyol. Tapi menurt siswa mungkin
ini sangat penting untuk dapat mengetahui sesuatu atau konsep dasar dari SPLDV
dalam bentuk umum seperti disampaikan diatas. Maka dengan ini maka guru harus
melakukan sebuah repersonalais terhadap apa yang menjadi peranyaan siswa
daiatas, karena ini merupakan hal yang sangat penting bagi guru dan siswa untuk
dapat memahami konsep dasar darai SPLDV.
Pertnyaan dari siswa diatas merupakan sebuah
pertanyaan yang sangat mendasar yang membutuhkan pemahaman tentang konsep dasar
dari sebuah sistem persaman linear. Dengan ini maka guru juga dituntut untuk
dapat mengusai konsep-konsep yang sangat mendasar untuk dapat menyampikan atau
menjawab pertanyaan yang seperti disampaikan oleh siswa diatas pada saat proses
belajar mengajar di kelas. Kalaupun guru tidak memiliki itu maka sudah barang
tentu siswa akan meangalami kesulitan pada saat menuju jenjang pendidikan
selanjutnya, karena siswa tidak diajarkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan
konsep-konsep dasar dalam mempelajari SPLDV.
Dalam mempelajari materi pembelajaran untuk
mencapai kompetensi dasar terdapat beberapa kemungkinan pada diri siswa, yaitu
siswa belum siap bekal pengetahuannya, siswa mengalami kesulitan, atau siswa
dengan cepat menguasai materi pembelajaran. Kemungkinan pertama siswa belum
memiliki pengetahuan prasyarat. Pengetahuan prasyarat adalah bekal pengetahuan
yang diperlukan untuk mempelajari suatu bahan ajar baru. Misalnya, untuk
mempelajari perkalian siswa harus sudah mempelajari penjumlahan. Untuk
mengetahui apakah siswa telah memiliki pengetahuan prasyarat, guru harus
mengadakan tes prasyarat (prequisite test). Jika berdasar tes tersebut siswa
belum memiliki pengetahuan prasyarat, maka siswa tersebut harus diberi materi
atau bahan pembekalan. Bahan pembekelan (matrikulasi) dapat diambil dari materi
atau modul di bawahnya. Dalam menghadapi kemungkinan kedua, yaitu siswa
mengalami kesulitan atau hambatan dalam menguasai materi pembelajaran, guru
harus menyediakan materi perbaikan (remedial). Materi pembelajaran remedial
disusun lebih sederhana, lebih rinci, diberi banyak penjelasan dan contoh agar
mudah ditangkap oleh siswa. Untuk keperluan remedial perlu disediakan modul
remidial. Dalam menghadapi kemungkinan ketiga, yaitu siswa dapat dengan cepat
dan mudah menguasai materi pembelajaran, guru harus menyediakan bahan pengayaan
(enrichment).
B.
Problem dan Kasus di Kelas Tentang
Pembelajaran Sistem Persaman Linear
Persamaan adalah kalimat terbuka yang memiliki hubungan
sama dengan. Persamaan linier adalah kalimat terbuka yang memiliki hubungan
sama dengan dan peubahnya berpangkat satu, dapat dinyatakan dalam bentuk
sebagai berikut.
ax + b = 0, dengan a, b∈R dan a ≠ 0
Penyelesaian persamaan linier adalah pengganti-pengganti
variabel yang membuat kalimat terbuka menjadi kalimat yang benar. Himpunan
penyelesaian persamaan linier adalah himpunan yang memuat semua penyelesaian
dari persamaan linier.
Persamaan linier dengan dua variabel adalah suatu
persamaan yang tepat mempunyai dua variabel dan dapat dinyatakan dalam bentuk
sebagai berikut.
ax + by = c dengan a, b, c ∈R dan a atau b ≠ 0
Pada saat prose belajar mengajar berlangsung siswa
diberikan soal-soal yang mengakut dengan SPLDV yang diselesaikan dengan
menggunakan metode grafik, subtitusi dan eliminasi, ternyata siswa dapat
menyelesaikan dengan baik. Misalnya dengan soal:
1. Gunakan metode grafik untuk
mencari penyelesaian SPLDV berikut.
x - y = 1 dan 3x – y = 6
2. Gubakan metode subtisusi, tentukan
penyelesaian SPLDV berikut:
x + 2y = 8 dan 2x – y = 6
3. Gunakan metode eliminasi untuk menentukan
penelesaian SPLDV berikut.
x + y = 7 dan 2x + y = 9
Dari soal-soal yang diberikan kepada siswa diatas, ternyata
siswa dapat menyelesaikan dengan mudah, walupun masih ada yang mengalami
kesulitan pada saat melakukan subtitusi dari satu persaman ke persaman yang
lain dan untuk menentukan sebuah titik potong pada grafik siswa masih mengalami
kesulitan. Dimana siswa ada yang
menjawab dengan prosedur yang berbeda dan jawaban siswa tersebut benar, namun
ada juga siswa yang tidak tepat menjawab karena tidak dibuat grafiknya atau
grafik tidak tepat walaupun proses mencari titik potong sudah diperoleh dengan
benar, ada yang proses mencari titik potongnya benar tapi nilai yang diperoleh
salah sehingga grafik yang dibuatnya pun menjadi salah, dan kesalahan karena
mengerjakan proses dari awal sudah tidak sesuai sama sekali.
Pada saat yang sama, guru memberikan soal
SPLDV dengan menggunakan bentuk soal cerita, ternyata siswa mengalami kesulitan
dalam menyelesaikan soal-soal matematika yang berbentuk cerita, misalnya:
Contoh soal 1: Harga
2 buah mangga dan 3 buah jeruk adalah Rp. 6000, kemudian apabila membeli 5 buah mangga dan 4 buah jeruk adalah
Rp11.500,-. Berapa jumlah uang yang harus dibayar apabila kita akan membeli
4 buah mangga dan 5 buah jeruk?
Contoh soal 2: Seorang pedagang
kue mempunyai modal Rp. 60.000,00. Dia kebingungan menentukan kue yang
akan dibeli untuk dijual kembali. Untuk membeli 70 buah kue jenis I dan 50 buah
kue jenis II uangnya sisa Rp. 2.500,00 sedangkan untuk membeli 70 buah kue
jenis I dan 60 buah kue jenis II uangnya kurang Rp. 2.000,00. Tentukan berapa harga
satu kue untuk setiap jenisnya !”
Dengan soal cerita SPL seperti ini siswa mengalami kesulitan,
dikarenakan siswa tidak memahami masalah, meliputi
hal-hal berikut: (1) tidak memahami kalimat, (2) tidak mampu mengubah masalah
itu dengan kalimat sendiri atau kalimat matematika, (3) siswa tidak dapat
mengidentifikasi apa yang diketahui, dan (4) siswa tidak mempu memahami apa
yang ditanyakan dalam soal tersebut. Kelemahan-kelamahan inilah yang mambuat
siswa mengalami kesulitan dalam meyelesaikan soal cerita dalam mengubah masalah
kontekstual ke dalam konteks matematika.
Soal cerita adalah soal yang disajikan dalam bentuk cerita
pendek terdiri dari beberapa kalimat. Cerita yang disajikan dapat berupa
masalah dalam kehidupan sehari- hari atau yang lainnya. Panjang pendeknya
kalimat yang digunakan, pemilihan kalimat atau kata yang digunakan untuk
membuat soal cerita biasanya berpengaruh terhadap tingkat kesulitan soal
tersebut.
Menurut George Polya (Hudoyo, 1979:158) ada 2 jenis
masalah dalam matematika, yaitu sebagai berikut.
a. Masalah untuk menemukan: Dalam hal
ini masalah dapat ditemukan oleh siswa secara teoritis atau praktis, abstrak
atau konkret.
b. Masalah membuktikan: Masalah ini
pada dasarnya untuk menunjukkan kebenaran suatu pernyataan (lemma atau teorema).
Penyelesaian SPLDV dengan bentuk soal cerita menurut
George Polya (Hudoyo, 2001:158) memberikan gambaran tentang langkah-langkah
penyelesaian soal cerita adalah sebagai berikut:
Langkah
1: Memahami masalah, meliputi hal-hal berikut: (1) Memahami kalimat,
(2) Mengubah masalah itu dengan kalimat sendiri, (3) Mengidentifikasi apa yang
diketahui? Dan (4) Mengidentifikasi apa yang ditanyakan ?
Di langkah ini siswa diminta untuk menentukan apa yang
diketahui dan apa yang ditanyakan, namun jika siswa tidak mampu maka guru
meminta siswa untuk mengubah soal dengan kalimatnya sendiri. Selanjutnya siswa
diminta menentukan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan.
Langkah
2:
Menyusun rencana pemecahan Siswa diminta mencari hubungan antara apa yang
diketahui dan apa yang ditanyakan. Hubungan bisa berupa teorema atau rumus.
Jika belum diperoleh hubungan secara langsung maka dicari alat bantu yang lain
(aksioma, teorema , rumus, dan lain-lain).
Langkah
3: Melaksanakan rencana pemecahan: Pada langkah ini siswa diharapkan
dapat memilih metode untuk menyelesaikan model matematika.
Langkah
4 : Memeriksa kembali: Pada langkah ini siswa diminta untuk memeriksa
hasil yang diperoleh.
Pada masa lalu, dan mungkin juga pada masa kini, sebagian
guru matematika memulai proses pembelajaran system persamaan linear (SPLDV)
dengan membahas definisi, lalu membuktikan atau hanya mengumumkan kepada para
siswa rumus-rumus yang berkait dengan topik tersebut, diikuti dengan membahas
contoh-contoh soal, dan diakhiri dengan meminta para siswanya untuk mengerjakan
soal-soal latihan. Dengan pembelajaran seperti itu, para guru akan mengontrol
secara penuh materi serta metode penyampaiannya. Akibatnya, proses pembelajaran
matematika di kelas di saat itu lalu menjadi proses mengikuti langkah-langkah,
aturan- aturan, serta contoh-contoh yang diberikan para guru.
Guru juga sering menjadikan buku paket sebagai sebuah
alternatif dalam pemblajaran, pada hal kita ketahui bersama isi buku paket kita
tidak semuanya menyantumkan materi pelajaran secara utuh, misalnya pada
penerapan konsep-konsep dasar yang berkaitan dengan materi yang akan diajarkan,
untuk itu guru harus mencari bahan-bahan lain yang mungkin berkaitan dengan
materi yang akan diajarkan pada siswa.
DAFTAR PUSTAKA
De Walle, J. A. (2007). Matematika
Sekolah Dasar dan Menengah (Pengembangan Pengajaran). Jakarta: Erlangga.
Depdiknas (2007). Gagasan
Kurikulum Masa Depan. Jakarta: Balitbang
Depdiknas (2007). Kajian
Kebijakan Kerikulum Mata Pelajaran Matematika. Jakarta: Balitbang
Hamalik, Oemar. (2010). Kutikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Hudojo,
Herman. 1979. Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di Depan
Kelas. Surabaya: Usaha Nasional.
Mulyasa, E. (2009). Kurikulum yang disempurnakan. Bandung: Rosda
Ruseffendi,
E.T. (1988). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya
dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito
Ruseffendi,
E.T. (1979). Pengajaran Matematika Moderen untuk Orang Tua Murid, Guru dan
SPG, buku 1, Bandung: Tarsito.
Ruseffendi,
E.T. (1985). Pengajaran Matematika Moderen untuk Orang Tua Murid, Guru dan
SPG, buku 6, Bandung: Tarsito.
Suryadi, Didi. (2010). Pendidikan Matematika. [Online]. Tersedia: file.upi.edu/direktori/FMIPA/Jurusanmatematika/Didisuryadi/didi-18.pdf.
diakses 11 November 2011.
Wardhani, Sri. (2008). Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/ MTs untuk
Optimalisasi Tujuan Mata Pelajaran Matematika. Yogyakarta: Pusat Pengembangan
dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika.